Ruang yang Terpecah
Mohamad Arifin, 2013
1.
Eksistensi berkesenian diwujudkan dalam banyak
hal, salah satunya dengan menggelar pameran. Selama ini kita hanya dikenalkan
oleh presentasi karya melalui pameran dengan model representasional. Dengan
cara ini, suatu tema diajukan terlebih dahulu sebelum karya dibuat, dalam arti
yang lain ia dihadirkan sebagai batasan dan pola tertentu yang dijadikan acuan
dasar bagi seluruh karya yang dipamerkan. Pameran dengan model representasi
telah dianut sekian tahun lamanya di dalam tradisi akademi seni modern. Model
semacam ini sesungguhnya mengandaikan proyeksi transendensi, dengan tema
pameran ditempatkan sebagai prinsip pertama yang harus diacu bagi seluruh
karya. Bila kita tarik garis yang tegas, terdapat dinding pemisah antara tema
dan karya. Tema sebagai subjek pameran dan karya sebagai objek yang secara
langsung dideterminasi oleh tema. Dalam prakteknya, lahirlah karya atas nama
tema.
Dengan model ini pula suatu narasi dibangun
melalui tema sebagai pernyataan yang konseptual dengan mengupayakan pengetahuan
tertentu beserta argumentasi yang menyertainya. Dari sanalah suatu pengetahuan
secara perlahan mulai diproduksi dalam teks kuratorial. Tema dalam pameran
mentasbihkan diri sebagai roh atau subjek yang merasuki keseluruhan wujud
karya. Dapat dinyatakan bahwa tematika pameran merupakan subjek yang diacu
sekaligus ia hadir dalam karya. Jika kita telusuri jauh dibelakang hari, praktek
semacam ini mirip dengan mimesis, yakni melukis dengan memindah citra realitas di
atas permukaan kanvas. Dengan cara ini, suatu karya yang dihasilkan merupakan
kopian langsung dari realitas. Realitas merepresentasikan diri di dalam
kanvas—di antara keduanya didapati hubungan representasional. Realitas adalah
subjek bagi objek kanvas. Model hubungan yang semacam ini menyatakan secara
langsung kehadiran realitas di dalam
kanvas. Realitas yang dijelmakan oleh kanvas hanya sebatas duplikasi yang
bersifat inferior. Realitas adalah roh yang hadir dan menubuh ke dalam kanvas. Dengan
hubungan yang sama, yakni melalui representasi, kita dapat mengatakan bahwa
tema memiliki superioritas yang lebih tinggi dibanding karya.
Tema pameran dalam pengertian ini menjadi idea
yang harus dirujuk oleh karya, yang demikian ini tema berarti pula menjadi
substansi yang melatari kelahiran karya dan eksistensinya di dalam ruang pamer.
Dengan model representasi, substansi tematik menghadirkan diri dalam wujud karya.
Kehadirannya sekaligus memberi status karya dengan legitimasi tertentu. Pada
batas tertentu, tema menjadi pemberi identitas karya. Dengan model relasi
seperti ini karya tidak memiliki posisi penting, kekuatannya dilemahkan, ditundukkan,
terdeteritorialisasikan. Dalam relasi ini juga transendensi memproyeksikan diri
dengan memposisikan tema sebagai basis ontologis bagi epistemologi karya dan
persoalan estetik di dalamnya. Tema menjelma menjadi berhala yang menandai
titik sentrifugal dalam seisi atmosfir ruang pamer. Seantero ruang telah
terdeteritorialisasi dan meluruh ke dalam pusat dengan mengurungnya dalam
penyatuan yang sama. Pada akhirnya,
transendensi akan membawa eksistensi kesenian ke dalam proyek rasionalisasi
seni.
Tendensi rasionalisme seni mengupayakan
eksistensi kesenian, termasuk pameran seni, pada suatu keteraturan dengan
metode kuratorial. Itulah sebabnya dalam praktek kuratorial seringkali ditemui
teks pewacanaannya didekati dengan cara yang logis, dalam hal tertentu
menggunakan analisa ilmiah yang ketat. Dalil-dalil keilmuan—lebih parahnya lagi
dengan memunggut satu pernyataan dalam suatu luasan pemikiran tertentu—diambil
begitu saja sebagai parameter karya dan pewacanaannya. Dalam satu objek karya
saja itu sudah terkandung beragam makna yang bersirkulasi di dalamnya. Jika
teks pewacanaan dipaksakan untuk membedah karya, jelas itu merupakan usaha yang
sia-sia. Mustahil menelan habis karya yang bertebaran di suatu ruang pamer
hanya dengan satu perspektif semata. Perbedaan-perbedaan yang terkandung di
dalam karya tidak mungkin dapat ditangkap dengan melegitimasikannya pada tema
tertentu. Perangkap transendensi berada jauh di batas angan yang kosong.
Idealitas tema sebenarnya tidak menyatakan
perbedaan karya selain hanya menyatakan dirinya sendiri, karena tidak ada
relasi yang dapat menghubungkan keduanya selain daripada sublimasi yang bermuatan
politis. Inilah yang disebut politisasi makna dalam ruang galeri. Kurator
berperanan penting sebagai agen penyelenggara pada usaha untuk menghasrati yang sama. Dengan penyatuan semacam ini,
galeri pun terasa sempit dengan pemaknaan yang homogen.
2.
Dalam bagian yang lain sekarang kita akan lihat
pemahaman pameran dengan sudut pandang yang berbeda dengan meninggalkan model
representasi. Karya senyatanya adalah entitas yang singular, berdiri sendiri
dan berdaulat atas namanya sendiri. Ia hanya akan menyatakan dirinya sendiri
tanpa ada eksistensi di luar dirinya yang dapat menguasainya. Perbedaan tak
pelak mampu melepaskan karya dari penjara tematik yang representasional. Dalam
banyak hal, bentuk kuratorial representasional telah mengalami kegagalan dalam
mengatasi karya, baik dari segi pemaknaan dan penafsirannya. Dalam suatu
pameran karya, kurator hanya akan membidiknya dalam satu perspektif yang hanya
akan mempersempit pembacaan karya. Multi-tafsir sengaja tidak disediakan dalam
alat bedah kurasi hanya karena menginginkan suatu keteratuan yang minimal.
Karya seni sesungguhnya merupakan daya cipta manusia berupa
asemblasi benda material, di dalamnya berisi kumpulan partikel kompleks yang
tidak sesederhana seperti yang disuguhkan oleh mata. Terkandung perbedaan partikular
sifat bendanya, bahkan setiap campuran materialnya yang paling minimal
sekalipun akan didapatkan nilai yang kompleks pula. Dari nilai material inilah
biasanya kurator menempatkannya sebagai basis metodologi kuratorial. Celakanya,
dari basis nilai minimal ini kemudian dijadikan perspektif pembacaan yang
deterministik. Apa yang diinginkan pembacaan determinan tak lain memberi
kanalisasi keteraturan. Pameran dengan tatanan representasi ingin meletakkan ordo
keteraturan tertentu dalam perbedaan yang kompleks.
Karya yang individual berisi kompleksitas material yang
menghasilkan muatan campuran reaksi material yang menyebabkannya mengalami
keterlepasan. Dengan keterlepasan itulah suatu karya tidak dapat ditangkap oleh
alat representasi apapun. Dengan kompleksitas materialnya pula, ia akan
berkejaran dengan dirinya sendiri saling melepaskan energi makna yang keluar
dari dalam kebendaan itu sendiri. Tepat di sinilah singularitas keberhalaannya
bereksistensi di dalam imanensi. Dengan pemahaman seperti ini, suatu benda seni
tidak lagi membutuhkan fundamental ontologis bagi epistemologi karya karena
eksistensinya akan ditentukan oleh potensi dan daya-daya yang ada dalam karya
itu sendiri. Benda seni yang telah meretas perbedaan melawan tatanan
representasi pada akhirnya tidak lagi berkewajiban untuk tunduk kepada tema
kuratorial yang tunggal. Benda seni adalah berhala bagi dirinya sendiri dan
bukan memberhalakan tematika pameran.
Dengan keberserakan benda-benda, individu ingin
meyatakan sikap dan di situlah ia meletakkan posisi dalam suatu atmosfir ruang.
Senyatanya setiap benda adalah selalu menyatakan diri melalui material benda
itu sendiri. Dalam semesta material yang maha luas, ia ingin menyatakan diri
sebagai individu yang berdaulat atas namanya sendiri. Diskursus pengetahuan tidak
memungkinkan lagi untuk membentuk suatu pengetahuan yang tunggal. Individu
secara natural akan melepaskan diri dari diskursus yang bersifat homogen dan
reduktif, pada akhirnya setiap benda individual akan membawanya pada
keberjamakan diskursus: dengan kemahaluasan materi yang ia sebarkan dalam
sebuah ruang seni.
Setiap benda adalah berhala bagi dirinya sendiri,
dan bukan bagi keberadaan eksistensi di luar dirinya. Objek berdiri sendiri,
tidak tunduk pada tema kuratorial yang fasis dan determinis, tidak juga
menyerupai objek komoditi dalam jalan kapitalisme. Dengan segenap dayanya ia
melepaskan diri, tercerabut di luar batas keruangan yang terukur, terserak dari
legitimasi yang sengaja ditanam di dalam galeri sebagai jebakan representasi.
Hilangnya keutuhan, terpecah-belah, terserak dalam ketakberaturan pada akhirnya
akan melahirkan ikhwal penaklukkan batas keruangan, juga melahirkan ketakterdugaan
akan sesuatu. Kelahiran yang baru bisa
dicapai melalui lemparan dadu kemungkinan; dalam suatu ketakterdugaan peluang
itu selalu ada dalam keniscayaan yang
mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar