Sabtu, 23 Februari 2013

Artikel Pengiring



Ruang yang Terpecah
Mohamad Arifin, 2013



1.
Eksistensi berkesenian diwujudkan dalam banyak hal, salah satunya dengan menggelar pameran. Selama ini kita hanya dikenalkan oleh presentasi karya melalui pameran dengan model representasional. Dengan cara ini, suatu tema diajukan terlebih dahulu sebelum karya dibuat, dalam arti yang lain ia dihadirkan sebagai batasan dan pola tertentu yang dijadikan acuan dasar bagi seluruh karya yang dipamerkan. Pameran dengan model representasi telah dianut sekian tahun lamanya di dalam tradisi akademi seni modern. Model semacam ini sesungguhnya mengandaikan proyeksi transendensi, dengan tema pameran ditempatkan sebagai prinsip pertama yang harus diacu bagi seluruh karya. Bila kita tarik garis yang tegas, terdapat dinding pemisah antara tema dan karya. Tema sebagai subjek pameran dan karya sebagai objek yang secara langsung dideterminasi oleh tema. Dalam prakteknya, lahirlah karya atas nama tema.

Dengan model ini pula suatu narasi dibangun melalui tema sebagai pernyataan yang konseptual dengan mengupayakan pengetahuan tertentu beserta argumentasi yang menyertainya. Dari sanalah suatu pengetahuan secara perlahan mulai diproduksi dalam teks kuratorial. Tema dalam pameran mentasbihkan diri sebagai roh atau subjek yang merasuki keseluruhan wujud karya. Dapat dinyatakan bahwa tematika pameran merupakan subjek yang diacu sekaligus ia hadir dalam karya. Jika kita telusuri jauh dibelakang hari, praktek semacam ini mirip dengan mimesis, yakni melukis dengan memindah citra realitas di atas permukaan kanvas. Dengan cara ini, suatu karya yang dihasilkan merupakan kopian langsung dari realitas. Realitas merepresentasikan diri di dalam kanvas—di antara keduanya didapati hubungan representasional. Realitas adalah subjek bagi objek kanvas. Model hubungan yang semacam ini menyatakan secara langsung kehadiran realitas di dalam kanvas. Realitas yang dijelmakan oleh kanvas hanya sebatas duplikasi yang bersifat inferior. Realitas adalah roh yang hadir dan menubuh ke dalam kanvas. Dengan hubungan yang sama, yakni melalui representasi, kita dapat mengatakan bahwa tema memiliki superioritas yang lebih tinggi dibanding karya.

Tema pameran dalam pengertian ini menjadi idea yang harus dirujuk oleh karya, yang demikian ini tema berarti pula menjadi substansi yang melatari kelahiran karya dan eksistensinya di dalam ruang pamer. Dengan model representasi, substansi tematik menghadirkan diri dalam wujud karya. Kehadirannya sekaligus memberi status karya dengan legitimasi tertentu. Pada batas tertentu, tema menjadi pemberi identitas karya. Dengan model relasi seperti ini karya tidak memiliki posisi penting, kekuatannya dilemahkan, ditundukkan, terdeteritorialisasikan. Dalam relasi ini juga transendensi memproyeksikan diri dengan memposisikan tema sebagai basis ontologis bagi epistemologi karya dan persoalan estetik di dalamnya. Tema menjelma menjadi berhala yang menandai titik sentrifugal dalam seisi atmosfir ruang pamer. Seantero ruang telah terdeteritorialisasi dan meluruh ke dalam pusat dengan mengurungnya dalam penyatuan yang sama. Pada akhirnya, transendensi akan membawa eksistensi kesenian ke dalam proyek rasionalisasi seni.

Tendensi rasionalisme seni mengupayakan eksistensi kesenian, termasuk pameran seni, pada suatu keteraturan dengan metode kuratorial. Itulah sebabnya dalam praktek kuratorial seringkali ditemui teks pewacanaannya didekati dengan cara yang logis, dalam hal tertentu menggunakan analisa ilmiah yang ketat. Dalil-dalil keilmuan—lebih parahnya lagi dengan memunggut satu pernyataan dalam suatu luasan pemikiran tertentu—diambil begitu saja sebagai parameter karya dan pewacanaannya. Dalam satu objek karya saja itu sudah terkandung beragam makna yang bersirkulasi di dalamnya. Jika teks pewacanaan dipaksakan untuk membedah karya, jelas itu merupakan usaha yang sia-sia. Mustahil menelan habis karya yang bertebaran di suatu ruang pamer hanya dengan satu perspektif semata. Perbedaan-perbedaan yang terkandung di dalam karya tidak mungkin dapat ditangkap dengan melegitimasikannya pada tema tertentu. Perangkap transendensi berada jauh di batas angan yang kosong.

Idealitas tema sebenarnya tidak menyatakan perbedaan karya selain hanya menyatakan dirinya sendiri, karena tidak ada relasi yang dapat menghubungkan keduanya selain daripada sublimasi yang bermuatan politis. Inilah yang disebut politisasi makna dalam ruang galeri. Kurator berperanan penting sebagai agen penyelenggara pada usaha untuk menghasrati yang sama. Dengan penyatuan semacam ini, galeri pun terasa sempit dengan pemaknaan yang homogen.

2.
Dalam bagian yang lain sekarang kita akan lihat pemahaman pameran dengan sudut pandang yang berbeda dengan meninggalkan model representasi. Karya senyatanya adalah entitas yang singular, berdiri sendiri dan berdaulat atas namanya sendiri. Ia hanya akan menyatakan dirinya sendiri tanpa ada eksistensi di luar dirinya yang dapat menguasainya. Perbedaan tak pelak mampu melepaskan karya dari penjara tematik yang representasional. Dalam banyak hal, bentuk kuratorial representasional telah mengalami kegagalan dalam mengatasi karya, baik dari segi pemaknaan dan penafsirannya. Dalam suatu pameran karya, kurator hanya akan membidiknya dalam satu perspektif yang hanya akan mempersempit pembacaan karya. Multi-tafsir sengaja tidak disediakan dalam alat bedah kurasi hanya karena menginginkan suatu keteratuan yang minimal.

Karya seni sesungguhnya merupakan daya cipta manusia berupa asemblasi benda material, di dalamnya berisi kumpulan partikel kompleks yang tidak sesederhana seperti yang disuguhkan oleh mata. Terkandung perbedaan partikular sifat bendanya, bahkan setiap campuran materialnya yang paling minimal sekalipun akan didapatkan nilai yang kompleks pula. Dari nilai material inilah biasanya kurator menempatkannya sebagai basis metodologi kuratorial. Celakanya, dari basis nilai minimal ini kemudian dijadikan perspektif pembacaan yang deterministik. Apa yang diinginkan pembacaan determinan tak lain memberi kanalisasi keteraturan. Pameran dengan tatanan representasi ingin meletakkan ordo keteraturan tertentu dalam perbedaan yang kompleks.

Karya yang individual berisi kompleksitas material yang menghasilkan muatan campuran reaksi material yang menyebabkannya mengalami keterlepasan. Dengan keterlepasan itulah suatu karya tidak dapat ditangkap oleh alat representasi apapun. Dengan kompleksitas materialnya pula, ia akan berkejaran dengan dirinya sendiri saling melepaskan energi makna yang keluar dari dalam kebendaan itu sendiri. Tepat di sinilah singularitas keberhalaannya bereksistensi di dalam imanensi. Dengan pemahaman seperti ini, suatu benda seni tidak lagi membutuhkan fundamental ontologis bagi epistemologi karya karena eksistensinya akan ditentukan oleh potensi dan daya-daya yang ada dalam karya itu sendiri. Benda seni yang telah meretas perbedaan melawan tatanan representasi pada akhirnya tidak lagi berkewajiban untuk tunduk kepada tema kuratorial yang tunggal. Benda seni adalah berhala bagi dirinya sendiri dan bukan memberhalakan tematika pameran.

Dengan keberserakan benda-benda, individu ingin meyatakan sikap dan di situlah ia meletakkan posisi dalam suatu atmosfir ruang. Senyatanya setiap benda adalah selalu menyatakan diri melalui material benda itu sendiri. Dalam semesta material yang maha luas, ia ingin menyatakan diri sebagai individu yang berdaulat atas namanya sendiri. Diskursus pengetahuan tidak memungkinkan lagi untuk membentuk suatu pengetahuan yang tunggal. Individu secara natural akan melepaskan diri dari diskursus yang bersifat homogen dan reduktif, pada akhirnya setiap benda individual akan membawanya pada keberjamakan diskursus: dengan kemahaluasan materi yang ia sebarkan dalam sebuah ruang seni.

Setiap benda adalah berhala bagi dirinya sendiri, dan bukan bagi keberadaan eksistensi di luar dirinya. Objek berdiri sendiri, tidak tunduk pada tema kuratorial yang fasis dan determinis, tidak juga menyerupai objek komoditi dalam jalan kapitalisme. Dengan segenap dayanya ia melepaskan diri, tercerabut di luar batas keruangan yang terukur, terserak dari legitimasi yang sengaja ditanam di dalam galeri sebagai jebakan representasi. Hilangnya keutuhan, terpecah-belah, terserak dalam ketakberaturan pada akhirnya akan melahirkan ikhwal penaklukkan batas keruangan, juga melahirkan ketakterdugaan akan sesuatu. Kelahiran yang baru bisa dicapai melalui lemparan dadu kemungkinan; dalam suatu ketakterdugaan peluang itu selalu ada dalam keniscayaan yang mungkin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar